Wednesday 30 July 2014

We Will Not Go Down (Gaza) - Michael Heart - OFFICIAL VIDEO

Bos Kompas: Katolik dan Cukong Wajib Dukung Jokowi

Cetak

Post 23 Maret 2014
By Faizal Assegaf

kompas Jakob Oetama dan sinar Mas

Ada
cerita menarik yang beredar terbatas di kalangan petinggi Kompas
Gramedia Group. Tentang konspirasi di balik opini bentukan jaringan
media menghadapi pemilu 2014. Tentang "kolaborasi kotor" kelompok
misionaris Katolik, konglomerasi Tionghoa dan elit PDIP. Tentang
rekayasa pencitraan Jokowi - Ahok menggilas akal sehat publik.

Kisah
penuh misteri itu berawal di akhir bulan Desember 2013. Orang - orang
berduit triliun rupiah yang kemudian dikenal dengan "cukong", berkumpul
bersama petinggi Kompas Gramedia Group, elite PDIP dan misionaris
Katolik. Atas nama kesamaan kepentingan ideologi, merumuskan sebuah
konspirasi jahat.

"Kita sudah berhasil membawa Jokowi - Ahok di
posisi jabatan strategis DKI Jakarta, kini selanjutnya mempermulus jalan
untuk memastikan Jokowi menjadi Presiden dan Ahok tampil memimpin
Jakarta." Sembari menegaskan: "Ini tahapan finalisasi untuk menguasai
Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim."

Dengan mengusung
tema liputan "Indonesia Satu", crew redaksi Kompas bergerak lincah
menyebarkan serangkaian isu dan opini penuh tipu muslihat ke ruang
publik. Sasaran mendongkrak popularitas Jokowi - Ahok dan menghembuskan
kebencian rakyat kepada elite dan partai non PDIP.

Hasilnya, dalam
kurun waktu yang tidak lama, Jokowi - Ahok diposisikan sebagai figur
fenomenal di panggung politik nasional jelang Pemilu 2014. Publik hampir
setiap hari disuguhi berbagai berita dari aneka lakon dua boneka yang
terus melenggang bebas mewakili ambisi cukong dan jaringan katolik.

Dengan
mengabaikan visi, Jokowi - Ahok hadir bagai sinetron berdurasi tanpa
batas menyihir pembaca dan pemirsa. Mulai dari serangkaian kisah
blusukan Jokowi yang menguras anggaran miliaran rupiah dari APBD, hingga
celoteh penuh amarah tanpa etika diperankan secara membabi-buta oleh
Ahok. Mirip pertunjukan "topeng monyet", yang setiap gerak-geriknya
sudah terlatih dan sepenuhnya dikendali oleh dalang alias cukong.

Jejak Hitam

Kompas
punya sejarah panjang dalam kongsi kepentingan dengan cukong. Media
utama milik kelompok Katolik ini, telah menjadi jaringan yang terus
menggurita. Di tahun 1998 - 1999, Kompas sukses mencitrakan pengaruh
Uskup Belo dalam pergolakkan politik paling spektakuler yang berujung
pada pelepasan Timor-Timur dari wilayah NKRI.

Uskup Belo
dikesankan bagai pahlawan kemanusiaan yang secara sporadis menyudutkan
ABRI (TNI) sebagai penjahat HAM dalam serangkaian kasus pembantaian
massal di Timor-Timur. Tudingan tanpa bukti itu, nyaris setiap hari
menghias halaman utama koran Kompas dan memicu intervensi kekuatan
asing.

Setelah setahun Timor-Timur lepas dari NKRI, publik
kemudian baru menyadari ternyata: Uskup Belo dan Kompas terlibat bermain
mata untuk memuluskan kepentingan cukong yang mengincar sumber kekayaan
minyak di Laut Timor. Dan untuk hajat busuk itu, maka jalan ekstrim
disintegrasi pun dimainkan.

Sangat menyedihkan, konspirasi Kompas
dan gereja Katolik yang dipimpin oleh Uskup Belo sukses menyulut api
kebencian di hati rakyat Timor-Timur. Di mana ratusan ribu warga
Indonesia yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa yang puluhan tahun
menetap di Timor-Timur menjadi sasaran perlakuan tidak manusiawi,
diusir dan ribuan dari mereka kehilangan nyawa serta harta bendanya.

Tragedi
berdarah lepasnya Timor-Timur (Timor Leste) dari wilayah Indonesia
adalah fakta sejarah yang tak terlupakan. Wilayah yang berpenduduk
mayoritas Katolik tersebut oleh Kompas sangat berkepentingan untuk
menjadikannya sebagai negara boneka dalam kendali Australia, Eropa dan
Amerika.

Timor Leste memiliki potensi sumber kekayaan alam dan
berada di zona strategis serta berdampingan dengan NTT yang berpenduduk
mayoritas Katolik. Dan oleh Australia, Timor Leste telah dijadikan
pangkalan militer yang setiap saat dapat memperluas pengaruhnya dengan
mencaplok kawasan di sekitarnya. Jalan kearah itu semakin terbuka lebar.
Dan lagi-lagi, Kompas menyembunyikan rencana licik itu dari perhatian
publik.

Bagaimana dengan Jokowi - Ahok...?

Kompas Gramedia
Group, cukong dan basis jaringan Katolik dengan mencolok tengah gencar
memainkan "disintegrasi politik" yang memporak-porandakan tatanan sosial
di negeri ini. Melalui penunggangan PDIP, Jokowi dipaksakan tampil
sebagai boneka mereka untuk dipersiapkan memimpin Indonesia lima tahun
ke depan.

Skenario busuk itu tidak lain bertujuan untuk memperluas
pengaruh Katolik dan cukong dalam penguasaan negara, sentra
ekonomi-keuangan dan sebagainya. Ambisi itu sangat nyata, dan secara
terbuka tokoh Katolik paling berpengaruh, Frans Maknis Suseno
menyampaikan pesan berupa ancaman: "Bila Jokowi tidak jadi presiden maka
Indonesia akan rusuh..."

Pernyataan misionaris Katolik Frans
Maknis Suseno, tidak berbeda dengan apa yang pernah dilontarkan oleh
Uskup Belo: "Lebih baik membawa mayoritas Katolik Timor-Timur lepas dari
NKRI dari pada bergabung dengan ummat Islam dalam kebhinekaan
Indonesia..."

Cara pandang para tokoh Katolik yang berkonsiprasi
dengan cukong, membuat banyak pihak bertanya: "Di mana sikap
nasionalisme Megawati dan politisi PDIP...?".

Hem, uang dan
kerakusan kekuasaan telah melunturkan spirit nasionalisme elite partai.
Masa depan rakyat di negeri ini tengah berjalan menuju jurang
kehancuran. Prihatin !

by Faizal Assegaf
Katolik Tidak Berafiliasi Dengan Ummat Islam…?

Cetak

Post 19 Maret 2014
By faizal assegaf

da vinci code dan brown vb1

"Kalian punya partai politik, tapi kami menguasai jaringan media, sponsor keuangan dan akses lobi internasional."

Kalimat
pendek penuh makna itu secara tersirat menjadi spirit dan doktrin
gerakan politik misionaris Katolik di negeri ini. Dan terbukti, lebih
dari 40 tahun, kedigdayaan Katolik tumbuh dalam aneka industri media
massa dan jaringan bisnis percetakan: Kompas Gramedia Group.

Katolik
sebagai agama peninggalan kolonial Belanda dan Portugal di Indonesia,
memiliki keunggulan dan kian menancapkan taringnya di berbagai sektor
strategis nasional. Namun menariknya, kekuatan yang demikian solid dan
sangat berpengaruh tersebut tidak banyak diketahui oleh publik.

Tetapi
bagi mereka yang telibat dalam dunia jurnalisme dan aktivis pergerakan,
sangat memahami secara mendalam serangkaian "permainan kotor" politik
para misionaris Katolik. Yakni, adanya "grand design" dari ambisi
terselubung ekstrimis Katolik untuk menguasai sentra-sentra kehidupan
bangsa dan negara.

Di permukaan lakon Katolik tampil sebagai agama
yang gencar menghembuskan isu humanisme, pluralisme, demokrasi, HAM dan
toleransi. Namun di balik semua pencitraan itu, berbagai jaringan
Katolik sangat agresif memporak-porandakan kehidupan rakyat.

Sebut
saja, konspirasi elite Katolik terlihat mencolok dari peran media
Kompas dan gerakan ribuan relawan dari ratusan yayasan yang berada di
bawah kendali Kompas Gramedia Group, kian bergerak mendorong
"kebangkitan politik dalam penyatuan kepentingan syahwat cukong
(kapitalis) dan PDIP".

Persenyawaan dari perpaduan jaringan
Katolik, cukong dan PDIP tersebut, secara perlahan namun pasti, dengan
cepat mengantarkan Jokowi- Ahok sebagai produk politik paling mutakhir
dan penuh tipu muslihat di perhelatan pemilu 2014.

Realitas tak
elok itu sesungguhnya telah menjadi perbincangan serius yang hampir
merata di berbagai kalangan elite bangsa. Dan secara spesifik telah
memicu kesadaran kaum muda di pusat-pusat kajian dan komunitas aktivis
pergerakan. Yakni, memahami bahwa Jokowi-Ahok hadir tak sekedar mengisi
ruang demokrasi secara alami, namun memiliki tujuan mewakili kepentingan
terselubung Katolik, cukong dan PDIP.

Di era kekuasaan Megawati
saat menjabat selaku Presiden, sebenarnya praktek kejahatan penjualan
aset-aset negara dan skandal BLBI merupakan rangkaian fakta yang secara
mencolok melibatkan persekongkolan para cukong, elite Katolik dan PDIP.
Namun fakta korupsi tersebut berlalu tanpa adanya proses penegakkan
hukum.

Konon dalam sebuah pertemuan terbatas, Jakob Oetama
memperlihatkan kegembiraannya dengan menegaskan bahwa, "kasus penjualan
aset-aset negara dan skandal BLBI yang tak tersentuh hukum, merupakan
keberhasilan dan kemenangan besar bagi para cukong, misionaris Katolik
dan elite PDIP."

Jakob Oetama adalah pendiri dan pemilik Kompas
Gramedia Group yang oleh para jema'at gereja dan aktivis Katolik, dengan
bangga menjulukinya sebagai "Uskup Pers" Indonesia. Sebuah jabatan
tertinggi dalam struktur industri media yang terbilang sukses memadukan
doktrin agama dan pragmatisme pers sebagai sarana bisnis, jaringan lobi
internasional serta corong perjuangan kepentingan ideologi.

Seorang
sahabat, mantan jurnalis senior dari sebuah majalah terkemuka nasional,
melontarkan pertayaan kritisnya: "Mengapa misionaris Katolik dan para
cukong tidak ingin menjalin afiliasi dengan ummat Islam untuk membangun
dan memajukan kehidupan rakyat banyak...?".

Pertanyaan itu
mengingatkan kita pada ungkapan penuh kebencian dan sinisme dari tokoh
Katolik Timor Leste, Uskup Belo di akhir tahun 1998: "Lebih baik membawa
mayoritas Katolik Timor-Timur lepas dari NKRI dari pada bergabung
dengan ummat Islam dalam kebhinekaan Indonesia...".

Sikap Uskup
Belo, sang separatis Katolik Timor Leste itu, jelas sangat naif dan
masih terasa relevan sebagaimana tergambar di atas. Yakni, bila
konspirasi politik Katolik, cukong dan PDIP memaksakan kepentingan
kelompok dengan menafikan aspirasi rakyat banyak, maka tak mustahil,
negeri ini akan terjebak dalam gejolak berkepanjangan dan ancaman
disintegrasi di masa depan.

by Faizal Assegaf http://visibaru.com/index.php/kolom/1478-katolik-tidak-berafiliasi-dengan-ummat-islam%E2%80%A6.html
#PrabowoHatta , #satuINDONESIA , #INDONESIABANGKIT ,
#dukungboikotMETROtv­ , #syuradikaraende95fr­aternity , Website Resmi
Kampanye www.visibaru.com #DukungPrabowoHatta untuk #SelamatkanIndonesia­ :
www.SelamatkanIndone­sia.com
visibaru.com - HOME

No comments:

Post a Comment